Ngeri-Ngeri Sedap, Hutang 1 Tahun Jokowi = 30 Tahun Soeharto


 Pemerintahan era Presiden Joko Widodo dinilai hampir sama dengan era Presiden ‎Soeharto. Kenapa? Karena mereka dianggap sama-sama mencetak hutang yang besar.

Kata ‎Pe‎ngamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) S‎alamuddin Daeng, Soeharto meninggalkan hutang USD 53,8 miliar.


Sementara, untuk satu tahun ini, pemerintah Jokowi menurut data Bank Dunia baik dari penjualan obligasi, sekuritas, maupun pinjaman langsung, sudah mencapai Rp 569 ‎triliun.

Jika dipukul sama rata menggunakan kurs yang berlaku saat ini. Hutang era Soeharto sekitar Rp 676 triliun.

"Hampir sama 30 tahun Soeharto dengan 1 tahun Jokowi. Kalau kursnya dihitung berbeda sesuai zamannya, hutang Jokowi dua kali lipat dari hutang Soekarno," ujarnya di Jakarta, Minggu (27/12). ‎

Persoalan hutang ini dianggap harus menjadi perhatian pemerintah. Apalagi, hutang itu relatif dalam jangka pendek untuk segera dibayarkan.

"Dibayarkan tahun depan. Tahun 2016, hutang jangka pendek sekitar 70 persen dari struktur hutang pemerintah. Ngeri loh," ucap Daeng.

‎Adanya hutang memang dikarenakan kurangnya penerimaan negara yang tidak tercapai. Misalnya, penerimaan pajak, penerimaan dari sektor sumber daya alam (SDA) khususnya komoditas primer (minyak mentah/sawit) yang turun hingga 70 persen. Sementara, pemerintah menetapkan belanja modal mendekati Rp 2.000 triliun.

Apa yang salah? Tentu kata Daeng, dari sisi perencanaan ekonomi. Para ekonom di belakang Jokowi tidak berfikir dengan perhitungan yang matang. Mereka nurut untuk memenuhi ambisi Presiden terhadap sejumlah mega projeknya.

Padahal lembaga‎ ekonomi international menyatakan bahwa seluruh target pemerintah tidak realistis dan ambisius. Namun mereka tidak memperhatikan itu. Perlu diingat, hutang pastinya ada bunga yang terus bertambah.

Harusnya kata Daeng, pemerintah mencari cara menaikkan penerimaan dari berbagai sektor. Jikalau terus berhutang, bisa saja krisis terjadi. Apalagi, situasi politik setelah pilkada dan gaduhnya pemerintah dengan DPR.

"Ini bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Harus ada evaluasi total dalam bernegara," tandas Daeng.

Jawapos

Banner iklan disini