Ketika Harus LDR dengan Kekasih Halal
Fresh U (ilustrasi)
Moslemcommunity.net - Kanal Youtube terbentang di layar monitor. Riza Almanfaluthi menatap dengan teliti tayangan masakan berjudul “Resep Roti Sobek (lembut)”. Hari itu ia berencana ingin membuat roti sobek. Sebelumnya ia sudah pernah membuat roti cane dan bubur kacang hijau. Hanya saja yang kacang hijau ia agak kurang berhasil.
“Resep dari internet. Kalau diikuti dengan seksama tentu berhasil. Kemarin nggak berhasil (bikin kacang hijau) karena lagi malas aja. Malas nunggunya lama. Padahal dulu saya sering berhasil masaknya,” tuturnya ketika ditanya.
Aktivitas itu adalah salah satu dinamika mereka yang sedang menjalani hubungan jarak jauh (long distance relationship). Riza sudah tiga tahun ini menjalani LDR dengan pasangan halalnya dan juga dengan ketiga anaknya. Ia sedang dipindahtugaskan di Tapaktuan, Aceh dan keluarganya ada di Jakarta.
“Satu bulan sekali bertemu dengan mereka. Ini krena jaraknya yang jauh juga dan tentu waktu yang sedikit. Jumat malam berangkat baru Sabtu sore nyampe. Lalu Ahad siang berangkat lagi ke Tapaktuan,” aku Riza yang harus menghabiskan uang minimal Rp3 juta tiap kali melakukan perjalanan pulang pergi untuk bertemu keluarga.
Sadar tak bisa bertemu tiap hari, Riza mencoba tetap melakukan komunikasi yang cukup intens. “Telepon pada saat malam hari. Karena istri kerja juga, sama-sama sibuk. Kalau malam sudah santai semua,” kata Riza yang hobi menulis itu.
Sebagai “jomblo lokal”, Riza tentu merasakan kesepian karena jauh dari istri dan anak-anak. “Dukanya apa ya? Nggak ada tempat curhatlah. Curhat di telepon itu nggak semenarik langsung. Sepi, nggak bisa bercanda sama anak-anak,” keluhnya.
Tantangan LDR juga pernah dialami oleh Nurul Asmayani. Tepatnya enam tahun lalu. Ia LDR selama 9 bulan plus 6 bulan. Awalnya ia mengaku terpaksa LDR karena tidak bisa langsung bawa keluarga. Harus mengurus surat-surat dulu, dapat asrama dulu, dan lain lain. Maklum, suaminya mau melanjutkan pendidikan S3 ke Jepang ketika itu, tepatnya Chibadaigaku (Chiba University). Nurul pun mengalami sejumlah tantangan.
“Karena kami tinggal merantau jauh dari keluarga, tantangan banyak sifatnya teknis. Pas saya sakit, anak-anak nggak keurus. Antar jemput anak dan sebagainya,” cetus Nurul.
Tantangan lain ia harus menjaga kepercayaan dengan pasangan halalnya juga. Diantaranya menjaga ritme komunikasi dan menjaga biar anak-anak tetap dekat dengan ayahnya.
“Suami merasa kacau ketika jauh dari keluarga. Padahal maksudnya saya bawa anak-anak pulang, biar dia bisa konsen, nggak sibuk urus anak. Tahun terakhir itu, pasca gempa besar di Jepang tahun 2010,” ujarnya.
Ia mengaku suami kerja di lab kaya orang “gila” sampai senseinya komen ‘nggak pernah menemukan orang kerja di lab seperti dia’.
Suaminya berangkat ke lab jam 8 pagi, pulang jam 1 malam. Tiap hari. Bahkan Sabtu-Ahad, kecuali kalau pas jadwal kajian pekanan atau ada agenda dakwah
“Dan saya menyesuaikan jam itu. Tidur jam 8 malam, lalu bangun dan menulis sampai pagi nggak tidur lagi. Jadi pas suami datang jam 1, dia ketemu istrinya. Sedang bangun, nulis, bukan wajah ngantuk atau bangun tidur. Karena waktu saya buat komunikasi dengan beliau ya cuma jam segitu. Kalau nggak begitu, komunikasi nggak akan intens, bisa kacau juga. Tidur jam 8 malam, bangun jam 12 malam,” tutur Nurul yang nulis beberapa buku itu.
Konsultan Keluarga Indra Noveldy menilai pasangan suami istri yang sedang LDR harus siap kerja keras berkali-kali dibanding yang tidak LDR.
“Simplenya, untuk mereka yang LDR mereka harus siap kerja keras, bayar harganya beberapa kali lipat dibandingkan mereka yang tidak LDR-an. Mereka perlu kerja keras mungkin 4-5 kali lipat dibandingkan non LDR,” tutur Indra kepada BersamaDakwah, Senin (28/11/2016)
Lalu, siapa sebenarnya yang ‘lebih menderita’? Yang pergi… atau yang ditinggal?
“Masing-masing akan punya pembenarannya sendiri-sendiri. Butuh kerja keras juga untuk mau lebih mengerti apa kebutuhan pasangan. Padahal secara instingtif, biasanya akan ada pihak yang menuntut untuk lebih dimengerti,” kata penulis buku “Menikah untuk Bahagia” itu.
Simplenya, kata dia, siapkan diri untuk mau terus menjadi pihak yang mengerti kebutuhan pasangan.
“Mudah? Tentu saja jauh dari kata mudah,” ujarnya.
Ketika ditanya, apakah LDR juga salah satu penyebab keretakan (mungkin juga perceraian) pasangan halal? “Yes,” pungkas Indra.
Riza berharap tugasnya segera berakhir agar tidak LDR lagi. Ia berpesan kepada mereka yang akan menjalani LDR untuk memastikan bahwa sampai kapan LDR itu akan berakhir. Nyaman dengan LDR itu berarti masalah dalam rumah tangga.
“Itu baru di dunia. Banyakin doa juga agar jangan sampai LDR-an di akhirat. Karena itu pun bahaya, salah satu dari kita berada di neraka. Na’udzubillahi min dzalik,” ujar Riza. (bersamadakwah)
[http://news.moslemcommunity.net]
Moslemcommunity.net - Kanal Youtube terbentang di layar monitor. Riza Almanfaluthi menatap dengan teliti tayangan masakan berjudul “Resep Roti Sobek (lembut)”. Hari itu ia berencana ingin membuat roti sobek. Sebelumnya ia sudah pernah membuat roti cane dan bubur kacang hijau. Hanya saja yang kacang hijau ia agak kurang berhasil.
“Resep dari internet. Kalau diikuti dengan seksama tentu berhasil. Kemarin nggak berhasil (bikin kacang hijau) karena lagi malas aja. Malas nunggunya lama. Padahal dulu saya sering berhasil masaknya,” tuturnya ketika ditanya.
Aktivitas itu adalah salah satu dinamika mereka yang sedang menjalani hubungan jarak jauh (long distance relationship). Riza sudah tiga tahun ini menjalani LDR dengan pasangan halalnya dan juga dengan ketiga anaknya. Ia sedang dipindahtugaskan di Tapaktuan, Aceh dan keluarganya ada di Jakarta.
“Satu bulan sekali bertemu dengan mereka. Ini krena jaraknya yang jauh juga dan tentu waktu yang sedikit. Jumat malam berangkat baru Sabtu sore nyampe. Lalu Ahad siang berangkat lagi ke Tapaktuan,” aku Riza yang harus menghabiskan uang minimal Rp3 juta tiap kali melakukan perjalanan pulang pergi untuk bertemu keluarga.
Sadar tak bisa bertemu tiap hari, Riza mencoba tetap melakukan komunikasi yang cukup intens. “Telepon pada saat malam hari. Karena istri kerja juga, sama-sama sibuk. Kalau malam sudah santai semua,” kata Riza yang hobi menulis itu.
Sebagai “jomblo lokal”, Riza tentu merasakan kesepian karena jauh dari istri dan anak-anak. “Dukanya apa ya? Nggak ada tempat curhatlah. Curhat di telepon itu nggak semenarik langsung. Sepi, nggak bisa bercanda sama anak-anak,” keluhnya.
Tantangan LDR juga pernah dialami oleh Nurul Asmayani. Tepatnya enam tahun lalu. Ia LDR selama 9 bulan plus 6 bulan. Awalnya ia mengaku terpaksa LDR karena tidak bisa langsung bawa keluarga. Harus mengurus surat-surat dulu, dapat asrama dulu, dan lain lain. Maklum, suaminya mau melanjutkan pendidikan S3 ke Jepang ketika itu, tepatnya Chibadaigaku (Chiba University). Nurul pun mengalami sejumlah tantangan.
“Karena kami tinggal merantau jauh dari keluarga, tantangan banyak sifatnya teknis. Pas saya sakit, anak-anak nggak keurus. Antar jemput anak dan sebagainya,” cetus Nurul.
Tantangan lain ia harus menjaga kepercayaan dengan pasangan halalnya juga. Diantaranya menjaga ritme komunikasi dan menjaga biar anak-anak tetap dekat dengan ayahnya.
“Suami merasa kacau ketika jauh dari keluarga. Padahal maksudnya saya bawa anak-anak pulang, biar dia bisa konsen, nggak sibuk urus anak. Tahun terakhir itu, pasca gempa besar di Jepang tahun 2010,” ujarnya.
Ia mengaku suami kerja di lab kaya orang “gila” sampai senseinya komen ‘nggak pernah menemukan orang kerja di lab seperti dia’.
Suaminya berangkat ke lab jam 8 pagi, pulang jam 1 malam. Tiap hari. Bahkan Sabtu-Ahad, kecuali kalau pas jadwal kajian pekanan atau ada agenda dakwah
“Dan saya menyesuaikan jam itu. Tidur jam 8 malam, lalu bangun dan menulis sampai pagi nggak tidur lagi. Jadi pas suami datang jam 1, dia ketemu istrinya. Sedang bangun, nulis, bukan wajah ngantuk atau bangun tidur. Karena waktu saya buat komunikasi dengan beliau ya cuma jam segitu. Kalau nggak begitu, komunikasi nggak akan intens, bisa kacau juga. Tidur jam 8 malam, bangun jam 12 malam,” tutur Nurul yang nulis beberapa buku itu.
Konsultan Keluarga Indra Noveldy menilai pasangan suami istri yang sedang LDR harus siap kerja keras berkali-kali dibanding yang tidak LDR.
“Simplenya, untuk mereka yang LDR mereka harus siap kerja keras, bayar harganya beberapa kali lipat dibandingkan mereka yang tidak LDR-an. Mereka perlu kerja keras mungkin 4-5 kali lipat dibandingkan non LDR,” tutur Indra kepada BersamaDakwah, Senin (28/11/2016)
Lalu, siapa sebenarnya yang ‘lebih menderita’? Yang pergi… atau yang ditinggal?
“Masing-masing akan punya pembenarannya sendiri-sendiri. Butuh kerja keras juga untuk mau lebih mengerti apa kebutuhan pasangan. Padahal secara instingtif, biasanya akan ada pihak yang menuntut untuk lebih dimengerti,” kata penulis buku “Menikah untuk Bahagia” itu.
Simplenya, kata dia, siapkan diri untuk mau terus menjadi pihak yang mengerti kebutuhan pasangan.
“Mudah? Tentu saja jauh dari kata mudah,” ujarnya.
Ketika ditanya, apakah LDR juga salah satu penyebab keretakan (mungkin juga perceraian) pasangan halal? “Yes,” pungkas Indra.
Riza berharap tugasnya segera berakhir agar tidak LDR lagi. Ia berpesan kepada mereka yang akan menjalani LDR untuk memastikan bahwa sampai kapan LDR itu akan berakhir. Nyaman dengan LDR itu berarti masalah dalam rumah tangga.
“Itu baru di dunia. Banyakin doa juga agar jangan sampai LDR-an di akhirat. Karena itu pun bahaya, salah satu dari kita berada di neraka. Na’udzubillahi min dzalik,” ujar Riza. (bersamadakwah)
[http://news.moslemcommunity.net]