Kisah Abdullah Dzul Bijadain, Syahidnya Bikin Para Sahabat Iri
ilustrasi (Wahdah)
Moslemcommunity.net - Sebagian kita mungkin belum akrab dengan nama Abdullah Dzul Bijadain. Namun setelah membaca kisahnya, yang tumbuh adalah kekaguman. Betapa para sahabat Nabi, keterbatasan tak menghalangi mereka dari beramal dan berjuang.
Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini. Mereka laksana bintang gemintang. Kepada siapa pun kita melihat dari kalangan sahabat, di sana ada cahaya kemuliaan dan keteladanan. Buah dari tarbiyah Rasulullah, sang teladan terbaik di alam semesta.
Usai shalat Subuh, Rasulullah biasa menyalami para sahabatnya. Dan pagi itu, ada wajah baru di Masjid Nabawi.
“Engkau siapa?” tanya Rasulullah kepada laki-laki yang mengenakan pakaian kasar dan sangat sederhana. Sarung dan bajunya tampak terbuat dari kain yang sama, warnanya juga tak berbeda.
Laki-laki itu kemudian mengisahkan perjalanannya.
“Namaku Abdul Uzza. Aku hidup bersama pamanku di Muzaniyah. Cukup lama aku merahasiakan keislamanku. Hingga kemarin ketika pamanku mengetahui, ia mengusirku. Ia meminta kembali seluruh pemberiannya, bahkan baju yang aku kenakan. Aku serahkan bajuku saat itu juga. Lalu aku pulang ke ibuku dan ia memotong kain kasar ini menjadi dua. Satu untuk sarungku, satu untuk baju.”
“Kalau begitu namamu adalah Abdullah Dzul Bijadain, hamba Allah yang mengenakan dua kain kasar.”
Hari berganti hari, waktu berjalan cepat hingga tahun pun berganti. Abdullah Dzul Bijadain senantiasa bersemangat mengamalkan dan memperjuangkan Islam. Keterbatasan tak menghalanginya untuk membersamai Rasulullah.
Bersama beberapa sahabat lain, ia menjadi ahlus suffah. Tinggal di Masjid Nabawi karena tak punya rumah. Namun justru dengan cara itulah, Abdullah Dzul Bijadain lebih kepada Rasulullah dan memiliki lebih banyak kesempatan untuk belajar kepada beliau tentang agama ini.
Keterbatasan ekonomi juga tak menyurutkan semangat jihad Abdullah Dzul Bijadain. Dalam setiap kesempatan jihad, ia menginginkan syahid fi sabilillah. Syahid di jalan Allah adalah cita-cita tertingginya. Persis slogan para mujahidin: Asy asyahid fi sabilillah asma amanina.
Menjelang perang Tabuk pada tahun kesembilan hijrah, ia meminta doa Rasulullah. “Ya Rasulullah, doakan aku terbunuh pada perang ini hingga memperoleh mati syahid.”
“Tidak. Engkau tidak akan terbunuh. Tetapi jika engkau sakit demam lantas wafat, engkau mati syahid,” jawab Sang Rasul waktu itu.
Dan benar. Perang Tabuk dimenangkan tanpa pertempuran. Abdullah Dzul Bijadain tidak terbunuh.
Namun ketika hendak kembali ke Madinah, Abdullah Dzul Bijadain demam. Hingga suatu malam, Abdullah bin Mas’ud mendengar ada suara orang menggali tanah. Terlihat cahaya di tempat yang agak jauh dari kemahnya.
Abdullah bin Mas’ud lantas pergi ke sana untuk melihat apa yang gerangan terjadi. Rupanya Rasulullah bersama Abu Bakar dan sahabat lainnya sedang menggali makam. Lalu Rasulullah membopong jenazah dan memasukkannya ke liang lahat.
“Ya Allah, hari ini aku ridha kepadanya, maka ridhailah ia,” doa istimewa itu keluar dari lisan Rasulullah ketika memakamkan Abdullah Dzul Bijadain.
Abdullah bin Mas’ud sangat menginginkan doa itu. “Seandainya jenazah itu adalah jenazahku,” kata sahabat ahli tafsir itu.
Kisah Abdullah Dzul Bijadain setidaknya membawa tiga ibrah untuk kita:
1. Iman harga mati
Demikian besar tantangan yang dihadapi oleh Abdullah Dzul Bijadain untuk menjadi seorang muslim. Pamannya yang selama ini bersamanya justru menjadi penentang dan meminta seluruh pemberian jika ia masuk Islam. Bahkan pakaian yang ia kenakan pun diminta.
Namun itu tak menyurutkan Abdullah Dzul Bijadain. Iman adalah harga mati yang tak boleh ditukar dan dihalangi dengan dunia sebesar apa pun.
Banyak sahabat lain yang mendapatkan hambatan serupa. Mush’ab bin Umair saat masuk Islam diboikot oleh ibunya, seluruh pemberiannya diembargo, bahkan ia disekap. Namun Mush’ab bin Umair memenangkan iman.
Pun Saad bin Abi Waqash. Saat ibunya tahu ia masuk Islam, sang ibu menentangnya dengan aksi mogok makan. Berharap Saad bin Abi Waqash kasihan lalu kembali menyembah berhala. Namun Saad bin Abi Waqash memenangkan iman.
Mungkin ujian yang kita hadapi tak seberat mereka. Namun apa pun ujian itu, iman tak boleh goyah. Jangan sampai mati kecuali dalam kondisi Islam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam kondisi muslim.” (QS. Ali Imran: 102)
2. Keterbatasan tidak menghalangi perjuangan
Abdullah Dzul Bijadain memiliki banyak keterbatasan. Ia tidak punya rumah, bahkan pakaiannya hanya kain kasar yang dipotong menjadi sarung dan baju. Namun itu tidak menghalanginya dari perjuangan. Tidak menghalanginya dari beramal terbaik untuk Islam.
Banyak sahabat lain yang juga memiliki keterbatasan. Abu Ayyub Al Anshari, misalnya. Kakinya cacat, namun ia memiliki semangat membara untuk berjihad hingga syahid dan makamnya di dekat Konstantinopel.
Keterbatasan tidak menghalangi para sahabat dari perjuangan. Seharusnya juga tidak menghalangi kita. Justru dengan berjuang, dengan menolong agama Allah, Allah akan memberikan pertolonganNya kepada kita.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman jika kalaian menolong agama Allah niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Surat Muhammad: 7)
3. Orientasi akhirat
Para sahabat menjadikan akhirat sebagai orientasi tertinggi. Cita-citanya adalah cita-cita akhirat. Itu yang dimiliki Abdullah Dzul Bijadain sehingga bergegas menyambut seruan jihad. Itu yang membuatnya meminta Rasulullah mendoakan agar ia syahid.
Demikian pula Abdullah bin Mas’ud iri kepada Abdullah Dzul Bijadain karena ia mendapatkan ridha Rasulullah dan didoakan mendapat ridha Allah yang pasti diridhaiNya. Abdullah bin Mas’ud tidak pernah iri dalam masalah duniawi, namun ia iri dalam kemuliaan kahirat seperti ini. (bersamadakwah)
[http://news.moslemcommunity.net]
Moslemcommunity.net - Sebagian kita mungkin belum akrab dengan nama Abdullah Dzul Bijadain. Namun setelah membaca kisahnya, yang tumbuh adalah kekaguman. Betapa para sahabat Nabi, keterbatasan tak menghalangi mereka dari beramal dan berjuang.
Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini. Mereka laksana bintang gemintang. Kepada siapa pun kita melihat dari kalangan sahabat, di sana ada cahaya kemuliaan dan keteladanan. Buah dari tarbiyah Rasulullah, sang teladan terbaik di alam semesta.
Usai shalat Subuh, Rasulullah biasa menyalami para sahabatnya. Dan pagi itu, ada wajah baru di Masjid Nabawi.
“Engkau siapa?” tanya Rasulullah kepada laki-laki yang mengenakan pakaian kasar dan sangat sederhana. Sarung dan bajunya tampak terbuat dari kain yang sama, warnanya juga tak berbeda.
Laki-laki itu kemudian mengisahkan perjalanannya.
“Namaku Abdul Uzza. Aku hidup bersama pamanku di Muzaniyah. Cukup lama aku merahasiakan keislamanku. Hingga kemarin ketika pamanku mengetahui, ia mengusirku. Ia meminta kembali seluruh pemberiannya, bahkan baju yang aku kenakan. Aku serahkan bajuku saat itu juga. Lalu aku pulang ke ibuku dan ia memotong kain kasar ini menjadi dua. Satu untuk sarungku, satu untuk baju.”
“Kalau begitu namamu adalah Abdullah Dzul Bijadain, hamba Allah yang mengenakan dua kain kasar.”
Hari berganti hari, waktu berjalan cepat hingga tahun pun berganti. Abdullah Dzul Bijadain senantiasa bersemangat mengamalkan dan memperjuangkan Islam. Keterbatasan tak menghalanginya untuk membersamai Rasulullah.
Bersama beberapa sahabat lain, ia menjadi ahlus suffah. Tinggal di Masjid Nabawi karena tak punya rumah. Namun justru dengan cara itulah, Abdullah Dzul Bijadain lebih kepada Rasulullah dan memiliki lebih banyak kesempatan untuk belajar kepada beliau tentang agama ini.
Keterbatasan ekonomi juga tak menyurutkan semangat jihad Abdullah Dzul Bijadain. Dalam setiap kesempatan jihad, ia menginginkan syahid fi sabilillah. Syahid di jalan Allah adalah cita-cita tertingginya. Persis slogan para mujahidin: Asy asyahid fi sabilillah asma amanina.
Menjelang perang Tabuk pada tahun kesembilan hijrah, ia meminta doa Rasulullah. “Ya Rasulullah, doakan aku terbunuh pada perang ini hingga memperoleh mati syahid.”
“Tidak. Engkau tidak akan terbunuh. Tetapi jika engkau sakit demam lantas wafat, engkau mati syahid,” jawab Sang Rasul waktu itu.
Dan benar. Perang Tabuk dimenangkan tanpa pertempuran. Abdullah Dzul Bijadain tidak terbunuh.
Namun ketika hendak kembali ke Madinah, Abdullah Dzul Bijadain demam. Hingga suatu malam, Abdullah bin Mas’ud mendengar ada suara orang menggali tanah. Terlihat cahaya di tempat yang agak jauh dari kemahnya.
Abdullah bin Mas’ud lantas pergi ke sana untuk melihat apa yang gerangan terjadi. Rupanya Rasulullah bersama Abu Bakar dan sahabat lainnya sedang menggali makam. Lalu Rasulullah membopong jenazah dan memasukkannya ke liang lahat.
“Ya Allah, hari ini aku ridha kepadanya, maka ridhailah ia,” doa istimewa itu keluar dari lisan Rasulullah ketika memakamkan Abdullah Dzul Bijadain.
Abdullah bin Mas’ud sangat menginginkan doa itu. “Seandainya jenazah itu adalah jenazahku,” kata sahabat ahli tafsir itu.
Kisah Abdullah Dzul Bijadain setidaknya membawa tiga ibrah untuk kita:
1. Iman harga mati
Demikian besar tantangan yang dihadapi oleh Abdullah Dzul Bijadain untuk menjadi seorang muslim. Pamannya yang selama ini bersamanya justru menjadi penentang dan meminta seluruh pemberian jika ia masuk Islam. Bahkan pakaian yang ia kenakan pun diminta.
Namun itu tak menyurutkan Abdullah Dzul Bijadain. Iman adalah harga mati yang tak boleh ditukar dan dihalangi dengan dunia sebesar apa pun.
Banyak sahabat lain yang mendapatkan hambatan serupa. Mush’ab bin Umair saat masuk Islam diboikot oleh ibunya, seluruh pemberiannya diembargo, bahkan ia disekap. Namun Mush’ab bin Umair memenangkan iman.
Pun Saad bin Abi Waqash. Saat ibunya tahu ia masuk Islam, sang ibu menentangnya dengan aksi mogok makan. Berharap Saad bin Abi Waqash kasihan lalu kembali menyembah berhala. Namun Saad bin Abi Waqash memenangkan iman.
Mungkin ujian yang kita hadapi tak seberat mereka. Namun apa pun ujian itu, iman tak boleh goyah. Jangan sampai mati kecuali dalam kondisi Islam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam kondisi muslim.” (QS. Ali Imran: 102)
2. Keterbatasan tidak menghalangi perjuangan
Abdullah Dzul Bijadain memiliki banyak keterbatasan. Ia tidak punya rumah, bahkan pakaiannya hanya kain kasar yang dipotong menjadi sarung dan baju. Namun itu tidak menghalanginya dari perjuangan. Tidak menghalanginya dari beramal terbaik untuk Islam.
Banyak sahabat lain yang juga memiliki keterbatasan. Abu Ayyub Al Anshari, misalnya. Kakinya cacat, namun ia memiliki semangat membara untuk berjihad hingga syahid dan makamnya di dekat Konstantinopel.
Keterbatasan tidak menghalangi para sahabat dari perjuangan. Seharusnya juga tidak menghalangi kita. Justru dengan berjuang, dengan menolong agama Allah, Allah akan memberikan pertolonganNya kepada kita.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman jika kalaian menolong agama Allah niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Surat Muhammad: 7)
3. Orientasi akhirat
Para sahabat menjadikan akhirat sebagai orientasi tertinggi. Cita-citanya adalah cita-cita akhirat. Itu yang dimiliki Abdullah Dzul Bijadain sehingga bergegas menyambut seruan jihad. Itu yang membuatnya meminta Rasulullah mendoakan agar ia syahid.
Demikian pula Abdullah bin Mas’ud iri kepada Abdullah Dzul Bijadain karena ia mendapatkan ridha Rasulullah dan didoakan mendapat ridha Allah yang pasti diridhaiNya. Abdullah bin Mas’ud tidak pernah iri dalam masalah duniawi, namun ia iri dalam kemuliaan kahirat seperti ini. (bersamadakwah)
[http://news.moslemcommunity.net]