Diserang Di Debat, Prabowo Makin Banjir Simpati



Moslemcommunity - Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

Menang! Itulah tujuan debat pilpres. Benarkah? Secara pragmatis, iya. Setiap capres ingin menang di pilpres. Diantara caranya melalui debat. Apakah debat disetting hanya semata-mata agar capres bisa menang? Tak perlu sikap moral dan narasi kebangsaan?



Jika dijawab iya, anda tidak bermoral. Jawaban ini akan membuat anda yang terlibat dalam debat menghalalkan segala cara dan mengabaikan semua bentuk norma, nilai dan aturan. Selama ada celah, anda akan lakukan. Persetan apa kata orang. Yang penting, anda menang.

Sayangnya, bangsa ini adalah bangsa yang bermoral. Tidak selalu melihat siapa yang “merasa menang” dalam debat. Tapi, faktor kejujuran, kesantunan, ketaatan pada aturan dan jiwa kerakyatan menjadi variabel yang tak kalah penting di mata rakyat.

Terbukti, sejumlah orang jadi bupati, gubernur dan bahkan presiden karena kerendahan hati dan kesantunannya. SBY adalah bagian dari contoh itu. Orang lihat prestasinya? Tidak! Karena 2004 rakyat belum terlalu pintar dan cermat untuk mengukur prestasi SBY. Tapi dia menang. Kenapa? Dia sabar dibilang Jenderal kanak-kanak, dia santun, dia Jawa, dan dia ganteng. Cerdas? Tentu. Cukup! Itu yang membuat SBY menang.

Apakah keadaan ini akan menular ke Prabowo? Bisa jadi. Sangat mungkin. Bukankah ada yang menganggap, Jokowi pemenangnya di debat? “Merasa menang” di debat, tak berarti akan menang di pilpres. Apalagi, debat kedua kemarin menyisakan sejumlah persoalan. Apa itu?

Pertama, Jokowi dianggap overclaim. Bilang bahwa dia telah membangun 191.000 km infrastruktur jalan. Menurut data, itu tak benar. 191.000 km itu akumulasi dari infrastruktur jalan yang dibangun sejak zaman Belanda. Ada kontribusi Jepang, Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY. Terbiasa overclaim, Jokowi dianggap kurang pandai mengakui dan menghargai prestasi para pemimpin sebelumnya. Inilah yang juga seringkali dikeluhkan SBY.

Kedua, Jokowi dianggap berbohong soal data. Mungkin tepatnya, salah menyebut data dan angka. Soal kebakaran hutan, misalnya. Tiga tahun terakhir tak ada kebakaran hutan, katanya. Paginya, sejumlah media dan berbagai tulisan artikel mengkritik habis-habisan. Data itu salah! Kebakaran hutan tak pernah berhenti. Jumlahnya ratusan ribu hektar. Bahkan foto Jokowi ada di sekitar lokasi kebakaran hutan jadi viral. Sejumlah media mengkritiknya dengan keras.
Banner iklan disini