Awas Ada Gerombolan Dukun Anggotanya Sudah 60.000 dukun Dengan Istilah Yang Mentereng

Gerombolan Dukun Anggotanya Sudah 60.000 dukun

JIKA kita perhatikan secara seksama ada pergeseran istilah para pelaku kemusyrikan dalam dunia perdukunan. Jika dulu mereka kerap disebut dukun santet,  dukun  nujum, dukun  ramal  dan sebagainya, kini istilah itu diganti dengan istilah  para normal.  Kemudian secara  terang-terangan mereka mengiklankan diri  dan  disponsori oleh  media massa seperti Poskota, Lampu Merah setelah sebelumnya masyarakat Indonesia akrab mendengar nama Majalah Misteri. Prakter kemusyrikan tersebut kemudian  dipromosikan secara  nasional  dengan  iklan besar-besaran.  Lalu diberitakan pula dengan cara  yang  menarik.

Ustadz Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya ‘Tasawuf Pluralisme dan Pemurtadan‘ menjelaskan para dukun  tersebut telah menjerumuskan  ummat  dengan  mengeruk  duit   per-orang hingga mencapai Rp300.000,-.  Padahal, menurut Nabi Muhammad SAW,  mendatangi dukun untuk  bertanya  sesuatu saja  sudah  ditolak  sholatnya 40 hari.  Sedang  kalau  bertanya kepada dukun tentang sesuatu dan (lantas) meyakininya maka dihukumi  telah kafir  terhadap  Islam  yang dibawa Nabi  Muhammad  SAW,  menurut hadits  shahih.  Namun justru kini  secara  terang-terangan  para dukun  perusak  aqidah  itu membuat apa  yang  mereka  sebut  PPI.

Paguyuban  Para  Normal Indonesia -konon  anggotanya  telah mencapai  60.000 dukun-, jadi penjaja kemusyrikan yang dulu  masih  dilakukan ngumpet-ngumpet (sembunyi-sembunyi), kini telah  terang-terangan. Padahal,  bahayanya bagi ummat tidak kalah dengan bahaya  garong, copet, maling ataupun gedor, kecu, bangsat, dan bajingan lainnya.

Hanya  saja para bajingan itu merugikan secara harta,  namun  apa yang  disebut  para normal itu merusak total aqidah  ummat,  yang justru lebih sangat-sangat berbahaya. Namun penguasa tampak diam-diam  saja, bahkan pernah ada pejabat kabupaten di Bantul  Yogyakarta yang dikhabarkan membayar dukun sampai satu miliar rupiah.

Aneh bin ajaib, di kalangan orang Islam sendiri menyetujui apa  yang disebut “orang  pinter”. Padahal, hakekatnya  sami  mawon  (sama saja),  dukun-dukun juga. Walaupun yang disebut orang pinter  itu berlabel  kiai, tetap sama juga dengan dukun Mbah Jambrong,  kalau prakteknya  dukun-dukun  juga.  Namun  masyarakat  mengidentikkan dukun  itu  dengan kiai. Hingga ribuan orang dari  golongan  yang sering rancu aqidahnya berduyun-duyun ke dukun yang disebut  kiai untuk  minta  ilmu kebal. Suatu bentuk  pelanggaran  aqidah  yang terang-terangan, namun dilakukan secara demonstratip oleh  golongan  bid’ah dan khurofat. Ini satu kerancuan  akibat  pengelabuan lewat bahasa.

Karena  kemusyrikan perdukunan makin dianggap biasa, maka  di saat tumbuh reformasi dan bermunculan media massa baru, lalu  ada yang justru rajin mengiklankan kemusyrikan. Contohnya, koran Duta yang dikenal koran kaum NU (Nahdlatul Ulama) yang berhaluan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)  tampak  bersemangat mengiklankan  susuk,  yaitu  aji-aji kemusyrikan, dengan disebut ratu susuk asmara. Itu jelas menjerumuskan,  seolah aji-aji susuk kemusyrikan itu  boleh-boleh  saja.

Demikian  pula  koran yang konon SIUPP-nya Islam  seperti  Harian Terbit  suka mengiklankan kemusyrikan itu pula.  Televisi  swasta pun  ada yang mengobral kemusyrikan model itu. Semua itu  dikemas dengan bahasa yang seakan tidak ada masalah menurut agama. (Pz/Islampos)
Banner iklan disini