dr. Umar Zein Curigai Penyebab Kematian Ratusan Petugas Pemilu: Bukan Karena Kelelahan!

5749_Dokter-Umar-Zein-Luncurkan-Buku-Cerpen--Hilangkan-Stigma-Buruk-Pada-ODHA

Moslemcommunity - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia menyebutkan ada 119 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia selama Pemilu. Sebagian besar menghembuskan nafas terakhirnya diduga karena kelelahan.

Pun, demikian tak semua sepakat faktor kelelahan yang menjadi penyebabnya. Seperti yang diungkapkan dr Umar Zein, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).
Dalam akun Facebooknya, mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan ini mengatakan perlu penelitian untuk mengungkapkan penyebabnya, namun dia memastikan bukan karena faktor kelelahan, sebab tidak dalam kerja paksa.

umar-zein

Dia menuliskan pandangannya dengan judul “Benarkah “Kelelahan” Penyebab Kematian?
Mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RUSD) dr Pirngadi Medan ini mengurai pada zaman penjajahan Belanda, banyak pekerja paksa yang ditugaskan Deandels membuat jalan lintas Anyer-Panurakan. Mereka dipaksa bekerja membuat parit, memecah batu gunung dan mengangkat bahan-bahan yang diperlukan.

“Mereka bekerja siang malam tak tentu waktu istirahat dan makan. Namanya juga kerja paksa. Mereka pasti kelelahan dan kekurangan gizi, kehausan, kelaparan sehingga daya tahan tubuhnya melemah, akhirnya jatuh sakit. Banyak yang terkena Malaria tropika, kejang-kejang, koma, kemudian meninggal,” ujarnya, Rabu (24/4/2019).

Sedangkan, kondisi berbeda menurut Umar Zein dialami Petugas Pemilu yang bekerja di TPS atau di tempat lain. “Mereka cukup mendapatkan minuman dan makanan, bukan kerja paksa, ada waktu istirahat meski bergantian, boleh permisi bila kondisi darurat,” lanjutnya.

“Diberitakan lebih dari seratus orang petugas Pemilu 2019 meninggal dunia akibat kelelahan (Berapa % Angka Kematian?). Kelelahan tidak bisa langsung menyebabkan kematian. Ada tiga “pintu” kematian, yaitu otak, jantung dan paru. Bila otak tidak cukup mendapat oksigen oleh berbagai sebab, misalnya penyumbatan pembuluh darah, maka terjadi kematian sel-sel otak. Tetapi pasien tidak langsung mati. Ada mekanisme kompensasi untuk mempertahankan kehidupan sel-sel yang lain.

Bahkan kematian Batang Otak disebut kematian secara medis, butuh waktu beberapa jam untuk kemudian terjadi kematian biologis, setelah jantung dan paru berhenti berfungsi,” tuturnya.
Dia menegaskan gagal Jantung, gagal ginjal, gagal hati, tidak langsung mati, mungkin koma dulu beberapa hari bahkan lebih.

Dia mengurai kelelahan petugas Pemilu pastilah tidak sampai 1/1000 dari kelelahan pada pekerja paksa zaman Belanda. Kelelahan mungkin bisa sebagai pemicu gangguan akut atau eksaserbasi dari Penyakit kronik yang diidap.

“Ini butuh pembuktian pemeriksan medis yang cermat. Lalu, mengapa diberitakan di media, banyak petugas Pemilu meninggal dunia akibat kelelahan? Ini pembodohan pada rakyat awam atau orang yang tidak faham ilmu medis, atau sedikit tahu ilmu medis,” ungkapnya.

“Penyebab kematian tidak sesederhana itu, saudara-saudara sebangsa dan setanah air, Indonesia! Kematian mendadak (sudden death) secara medis, akibat proses di jantung, paru atau otak atau gabungannya,” tukasnya.

“Apa penyebab kematian ratusan Petugas Pemilu Indonesia Tahun 2019? Perlu penelitian. Yang pasti bukan kelelahan,” pungkasnya.(kl/sumber)

KPU: KPPS Meninggal Dunia Jadi 336 Orang



Jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia kembali bertambah. Hingga pagi ini tercatat ada 336 petugas KPPS yang dilaporkan meninggal dunia.

"Jumlah petugas KPPS yang wafat 336," kata Sekjen KPU Arif Rahman Hakim dalam keterangannya, Rabu (1/4/2019).

Angka tersebut merupakan data hingga 30 April 2019, pukul 18.00 WIB. Selain itu, petugas KPPS yang mengalami sakit sebanyak 2.232 orang.

Sebelumnya, besaran dana santunan terhadap anggota KPPS yang tertimpa musibah telah diputuskan. KPU memutuskan besaran dana santunan setelah menerima surat dari Kemenkeu.

"Sudah diputuskan, surat dari Menkeu baru kita terima pagi ini," ujar Sekjen KPU Arif Rahman Hakim kepada wartawan, Senin (29/4).

Besaran santunan ini dibagi menjadi menjadi empat jenis, yaitu meninggal dunia, cacat permanen, luka berat, dan luka sedang.

"Jenis kecelakaan kerja yang diberi santunan adalah meninggal sebesar Rp 36 juta per orang, cacat permanen Rp 30,8 juta per orang, luka berat Rp 16,5 juta per orang, dan luka sedang Rp 8,25 juta per orang," kata Arif.

ALMUZZAMMIL: PEMILU 2019 TERLAMA, TERUMIT, TERDUKA, TERCEROBOH DAN TERBELAH SEPANJANG SEJARAH


Ketua Bidang Polhukam DPP PKS Almuzzammil Yusuf memberikan catatan kritis terhadap pelaksanaan Pemilu 2019. Menurut politisi PKS asal Lampung yang biasa dikenal Muzzammil ini, Pemilu 2019 adalah pemilu 5T yaitu terlama, terumit, terduka, terceroboh, dan terbelah sepanjang sejarah pemilu di Indonesia.

“Disebut pemilu terlama karena masa kampanye hingga 7 bulan sehingga membutuhkan biaya besar dalam sosialisasi. Selain itu waktu yang dibutuhkan pemilih dalam mencoblos paling lama serta penghitungan suara terlama di TPS hingga larut malam dan sampai pagi,“ papar politisi PKS ini di Jakarta, Ahad (28/4/2019).

Pemilu 2019 juga, menurut alumni Ilmu Politik UI ini adalah pemilu terumit karena setiap pemilih harus mencoblos lima kertas suara dengan list panjang daftar nama-nama caleg DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, DPD RI, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

“Banyak pemilih yang tidak fokus dan cenderung asal-asalan memilih karena terlalu panjang list nama dalam lima kertas suara," ujarnya.

Selain itu, kata Anggota Panja UU Pemilu ini Pemilu 2019 juga pemilu terduka karena lebih dari 326 orang meninggal dunia dari pihak KPPS, saksi, dan petugas keamanan serta ribuan orang lebih jatuh sakit karena terlalu lelah dalam pelaksanaan pencoblosan dan penghitungan suara hingga larut malam dan pagi hari di TPS dan PPK.

“Ini adalah duka nasional. Kita semua berduka cita dengan wafatnya ratusan jiwa orang meninggal dan sakit karena bekerja keras mensukseskan Pemilu. Kedepan, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Pemilu kali ini supaya hal yang sama tidak terulang," katanya.

Menurut Muzzammil, Pemilu 2019 juga adalah Pemilu terceroboh karena banyaknya salah input data hasil C1 oleh KPUD ke sistem penghitungan KPU yang telah merugikan salah satu calon peserta Pemilu.

“Kecerobohan ini harus diselidiki apakah disengaja atau tidak karena telah merugikan peserta pemilu dalam jumlah besar. Bagi pelakunya perlu ada sanksi tegas. Jika dibiarkan maka marwah dan kepercayaan publik terhadap KPU akan merosot,” jelasnya.

Terakhir, Pemilu kali ini, terang Muzzammil adalah pemilu yang telah melahirkan keterbelahan di tengah-tengah masyarakat yang cukup tajam sejak kampanye sampai penghitungan suara berlangsung.

“Pasca Pemilu publik terbelah. Hal ini karena adanya hitung cepat oleh lembaga survei yang dipublikasikan secara berlebihan di media massa seakan-akan Pemilu telah selesai. Padahal proses penghitungan suara masih belangsung di bawah. Kedepan perlu ada pengaturan yang ketat terkait hal ini. Supaya tidak ada demoralisasi kepada para saksi peserta pemilu dan berpotensi menimbulkan kecurangan yang massif," terangnya

Untuk pemilu berikutnya yang lebih baik, kata Muzzammil perlu ada kajian yang komprehensif dan serius supaya kesalahan yang sama tidak terulang.

"Apalagi pada tahun 2024 merujuk UU Pilkada No. 10 Tahun 2016 akan ada rencana penggabungan Pilpres, Pileg plus Pilkada yang akan dilaksanakan pada tahun yang sama. Ini butuh kajian dan simulasi yang matang," tutup Anggota Panja UU Pilkada 2016 ini.
Banner iklan disini