Sopir Bajai Menjerit, Harus Utang Makan Gara-gara Ojek Online


Aksi demo ribuan sopir taksi konvensional dan bajaj membuat sebagian wilayah DKI Jakarta sempat mencekam. Banyak tindakan anarkis dilakukan para sopir ini kepada pengemudi transportasi berbasis aplikasi. Mereka geram lantaran penghasilan terus berkurang sejak kehadiran transportasi online.


Seorang sopir bajaj, Suyono (55), mengaku harus melakukan 'gali lubang tutup lubang' alias jadi sering berutang. Dia mengaku terpaksa melakukan itu lantaran penghasilannya tiap hari kian menurun. Demi memperjuangkan kehidupannya, dia juga ikut melakukan aksi di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (22/3).

Pria berdarah asli Betawi, ini mengaku sebelumnya hadir transportasi berbasis aplikasi mampu meraup hingga Rp 1,5 juta per bulan. Jumlah itu dianggapnya pas-pasan. Pendapatannya justru makin jeblok ketika para transportasi berbasis aplikasi hadir. Bahkan sekedar isi perut, Suyono harus berutang.

"Sekarang enggak menentu. Makan aja kadang-kadang ngutang. Setelah ada online, boro-boro setor, kadang-kadang nombok," cerita Suyono kepada merdeka.com.

Suyono merasa hadirnya transportasi berbasis aplikasi seolah langsung memonopoli penghasilannya. Banyak para pelanggannya berbondong-bondong beralih kepada kendaraan umum online itu.

Itu terlihat dari tarif ditawarkan para pengemudi berbasis aplikasi itu, terutama ojek online. "Persaingannya tidak sehat. Sekali jalan bajaj 30 ribu, mereka malah 10 ribu," kata Suyono.

Maka dari itu, Suyono berharap Presiden Joko Widodo alias Jokowi memberikan perhatian penuh pada pengendara bajaj. Dia percaya Jokowi bisa memberikan solusi bagi peningkatan kesejahteraan bagi profesinya.

"Mudah-mudahan setelah ada solusi dari bapak presiden Jokowi, kita jadi dapat keadilan. Kalau kita melarang online susah, kita minta solusi agar bajaj tidak gulung tikar," terangnya.

Bukan hanya Suyono menderita, nasib rekannya sesama sopir bajaj juga serupa. Iwan (52), sopir bajaj kerap mangkal di wilayah Pasar Karang Anyar, Jakarta Pusat, mengaku jadi sering berutang guna memenuhi dirinya dan keluarga.

"Makanya kita sering ngutang duit setoran. Kita juga butuh untuk makan, rokok, dan keluarga," ungkap Iwan.

Iwan memikul beban berat. Dia harus menyekolahkan tiga anaknya di sebuah desa wilayah Majalengka, Jawa Barat. Setiap bulan dia harus menyetor uang kepada keluarga di kampung halaman. Namun, dia makin tidak berdaya ketika transportasi berbasis aplikasi makin memenuhi wilayah mangkalnya.

"Sejak ada online, saya cuma bisa kirim uang dikit buat keluarga," ucapnya. Iwan menambahkan, tiap hari dia harus membayar setoran bajaj sebesar Rp 120 ribu. Dalam sehari dia bisa menghabiskan Rp 60 ribu untuk membeli bahan bakar.

Merdeka.com

Banner iklan disini