Bupati Dedi Nilai Full Day School hanya Cocok untuk Kota: Anak Desa Beda
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, mengkritisi rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, yang akan memberlakukan sekolah sepanjang hari atau full day.
Menurutnya, kebiasaan pemerintah saat ini terlalu memusatkan permasalahan di perkotaan tanpa melihat apakah kebijakan tersebut cocok diberlakukan di daerah-daerah yang masih berbasis pedesaan.
Bagi Dedi konsep full day hanya cocok bagi mereka yang tinggal di perkotaan, terutama yang kedua orang tuanya bekerja. Sehingga sekolah akan mejadi tempat yang cocok bagi anak-anak untuk menuntut ilmu sekaligus sarana interaksi dibanding dengan keluyuran karena tidak ada orang tua yang mengawasi di rumah.
"Tapi itu pun harus didukung dengan suasa kelas yang nyaman, taman-taman yang luas, kemudian banyak kegiatan ekstrakulikuler yang mengasikan. Tidak hanya pramuka, paskibra, tapi bisa perkebunan dan peternakan. Sehingga sekolah bisa menjadi tempat bermain mereka," jelas Dedi saat berbincang dengan detikcom, Selasa (9/8/2016).
Namun hal itu akan sangat berbeda dengan anak-anak yang masih dalam ruang lingkup pedesaan, seperti di Kabupaten Purwakarta. Di tempat seperti itu, anak-anak harus lebih didorong pada sektor produktif dan diberikan arahan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan publik.
Sebagai contoh, anak-anak di pedesaan sudah seharusnya tidak terlalu banyak menerima kurikulum berbasis akademis. Namun mereka harus lebih banyak turun ke lapangan dengan menekuni bidang peternakan, perikanan, kelautan, atau pun bidang real lainnya sesuai dengan daerah tempat mereka tinggal.
"Sehingga nantinya di sawah mereka sekolah, di kebun mereka sekolah, di laut juga mereka sekolah. Sekolah harusnya bisa menjawab tantangan kebutuhan publik. Kita lihat saja Indonesia saat ini masih impor daging, ikan, sayur, buah, bahkan makanan pokok kita beras. Seharusnya sekolah berbasiis lingkungan ini yang bisa menjawab tantangan itu," beber pria yang akrab disapa Kang Dedi itu.
Sebagai solusi pendidikan di daerah, lanjut Dedi, seharusnya kewenangan diberikan pada kepala sekolah atau pihak-pihak yang mengerti mengenai lingkungan sekitar. "Sehingga nantinya sekolah tahu apa kebutuhan dan bakan masing-masing anak. Yang namanya pendidikan itu tidak boleh menjadikan semua orang sama, tapi harus sesuai dengan kebutuhan," katanya.
Lebih lanjut Dedi mengatakan, sejak dia memimpin di Kabupaten Purwakarta kurikulum dibuat dengan berbasis kebudayaan. Penilaian anak sekolah tidak lagi mengacu pada keberhasilan akademis, namun lebih pada prilaku, budi pekerti, sopan santun, hingga produktifitas mereka menekuni sebuah bidang.
Selain itu anak-anak di Kabupaten Purwakarta masuk sekolah pada pukul 6.00 WIB yang secara tidak langsung mengajarkan agar tidak terlalu larut tidur, dan sebelum sekolah bisa beribadah. Anak-anak pun dibuat nyaman dengan lingkungan sekolah dengan dibuatkan satu toilet untuk setiap satu kelas.
"Kita buat sekolah itu ramah lingkungan, nyaman, aman, damai, dan kalau anak-anak ditanya tempat paling mengasyikkan di mana mereka bisa jawab sekolah. Kita buat sekolah itu tempat yang asik, bukan mengerikan," tuturnya.
Dedi meminta pemerintah seharusnya sudah mulai membuat kebijakan yang diatur dalam sebuah sistem. Sehingga meski pun ada pergantian pemimpin, system tidak berubah dan tidak membuat masyrakat kebingungan.
"Salahnya di kita itu system ada di orang. Jadi ganti pemimpin atau menteri, ada gagasan baru, kebijakan baru lagi. Padahal kebijakan kemarin-kemarin baru disosialisasikan. Ini harus segera dibicarakan sehingga anak-anak tidak menjadi korban pendidikan dan korban sistem setiap adanya pergantian itu," pungkas Dedi.
Menurutnya, kebiasaan pemerintah saat ini terlalu memusatkan permasalahan di perkotaan tanpa melihat apakah kebijakan tersebut cocok diberlakukan di daerah-daerah yang masih berbasis pedesaan.
Bagi Dedi konsep full day hanya cocok bagi mereka yang tinggal di perkotaan, terutama yang kedua orang tuanya bekerja. Sehingga sekolah akan mejadi tempat yang cocok bagi anak-anak untuk menuntut ilmu sekaligus sarana interaksi dibanding dengan keluyuran karena tidak ada orang tua yang mengawasi di rumah.
"Tapi itu pun harus didukung dengan suasa kelas yang nyaman, taman-taman yang luas, kemudian banyak kegiatan ekstrakulikuler yang mengasikan. Tidak hanya pramuka, paskibra, tapi bisa perkebunan dan peternakan. Sehingga sekolah bisa menjadi tempat bermain mereka," jelas Dedi saat berbincang dengan detikcom, Selasa (9/8/2016).
Namun hal itu akan sangat berbeda dengan anak-anak yang masih dalam ruang lingkup pedesaan, seperti di Kabupaten Purwakarta. Di tempat seperti itu, anak-anak harus lebih didorong pada sektor produktif dan diberikan arahan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan publik.
Sebagai contoh, anak-anak di pedesaan sudah seharusnya tidak terlalu banyak menerima kurikulum berbasis akademis. Namun mereka harus lebih banyak turun ke lapangan dengan menekuni bidang peternakan, perikanan, kelautan, atau pun bidang real lainnya sesuai dengan daerah tempat mereka tinggal.
"Sehingga nantinya di sawah mereka sekolah, di kebun mereka sekolah, di laut juga mereka sekolah. Sekolah harusnya bisa menjawab tantangan kebutuhan publik. Kita lihat saja Indonesia saat ini masih impor daging, ikan, sayur, buah, bahkan makanan pokok kita beras. Seharusnya sekolah berbasiis lingkungan ini yang bisa menjawab tantangan itu," beber pria yang akrab disapa Kang Dedi itu.
Sebagai solusi pendidikan di daerah, lanjut Dedi, seharusnya kewenangan diberikan pada kepala sekolah atau pihak-pihak yang mengerti mengenai lingkungan sekitar. "Sehingga nantinya sekolah tahu apa kebutuhan dan bakan masing-masing anak. Yang namanya pendidikan itu tidak boleh menjadikan semua orang sama, tapi harus sesuai dengan kebutuhan," katanya.
Lebih lanjut Dedi mengatakan, sejak dia memimpin di Kabupaten Purwakarta kurikulum dibuat dengan berbasis kebudayaan. Penilaian anak sekolah tidak lagi mengacu pada keberhasilan akademis, namun lebih pada prilaku, budi pekerti, sopan santun, hingga produktifitas mereka menekuni sebuah bidang.
Selain itu anak-anak di Kabupaten Purwakarta masuk sekolah pada pukul 6.00 WIB yang secara tidak langsung mengajarkan agar tidak terlalu larut tidur, dan sebelum sekolah bisa beribadah. Anak-anak pun dibuat nyaman dengan lingkungan sekolah dengan dibuatkan satu toilet untuk setiap satu kelas.
"Kita buat sekolah itu ramah lingkungan, nyaman, aman, damai, dan kalau anak-anak ditanya tempat paling mengasyikkan di mana mereka bisa jawab sekolah. Kita buat sekolah itu tempat yang asik, bukan mengerikan," tuturnya.
Dedi meminta pemerintah seharusnya sudah mulai membuat kebijakan yang diatur dalam sebuah sistem. Sehingga meski pun ada pergantian pemimpin, system tidak berubah dan tidak membuat masyrakat kebingungan.
"Salahnya di kita itu system ada di orang. Jadi ganti pemimpin atau menteri, ada gagasan baru, kebijakan baru lagi. Padahal kebijakan kemarin-kemarin baru disosialisasikan. Ini harus segera dibicarakan sehingga anak-anak tidak menjadi korban pendidikan dan korban sistem setiap adanya pergantian itu," pungkas Dedi.