Kisah Surat Cinta Istri yang "Bulan Madu" di Rumah Sakit

ilustrasi kamar pasien rumah sakit. Photo by paul morris on Unsplash

Moslemcommunity.net - Sejak November 2017 kamu sakit dan 5 Maret 2018 kamu tiada, sungguh teramat cepat kamu meninggalkanku.

Kita baru menikah bulan September 2017, aku pikir perjuangan kita berdua melawan penyakitmu masih banyak harapan, ternyata tidak. Tidak banyak yang tahu kamu sakit. Kamu selalu memintaku untuk tidak merepotkan orang lain dan tidak ingin memberitakanmu bahwa kamu sakit.

Berawal dari November kamu merasakan nyeri tangan kanan, rontgen di RSPG Cisarua dan hasilnya terlihat tumor di mediastinum seukuran 5×5 cm, lalu dirujuklah ke RS Kanker Dharmais Jakarta untuk memeriksakan lebih lanjut.

Dengan berbagai pemeriksaan, tidak ditemukan adanya kanker, hanya tumor jinak mediastinum yang ukurannya sudah berubah melewati pengecekan CT Scan menjadi 15×15 cm di bulan Desember 2017. Lalu dokter memutuskan untuk operasi segera karena pertumbuhan yang sangat cepat, namun sebelum operasi kamu sudah dirawat di rumah sakit karena mendadak stroke badan kanan selama 30 menit.

Kita hadapi semuanya hanya berdua dengan prosedur rumah sakit yang teramat berat, tapi kamu dan aku semangat asal kamu sembuh, semangat kamu sangat tinggi. Tidak pernah mengeluh dan selalu ceria.

Selama kamu dalam perawatan, banyak perawat dan dokter yang mengenal kita, pasangan pengantin baru yang honeymoon di rumah sakit. Mereka sudah seperti keluarga kita jadinya sampai menjadi bahan ledekan.

Tgl 25 Januari 2018 kamu mulai operasi dan berjalan lancar, namun setelah dokter memanggilku dan mengatakan bahwa sepertinya kamu terkena kanker stadium 4. Terasa seperti petir yang mendadak menyambar hatiku ya Allah.

Aku hanya bisa menjerit menangis di depan dokter dan beberapa keluarga yang menunggu. Kali ini aku tidak sendirian, ada keluarga yang menegarkanku, aku harus terlihat ceria seperti tidak terjadi apa-apa ketika nanti kamu sadar dari obat bius di ICU. Aku selalu berpikir positif sebelum hasil lab keluar. Namun setelah hasil lab keluar, jenis kanker kamu adl Gemscell (keturunan) karena pola hidupmu sehat (tidak suka makansaus, penyedap, tidak merokok, tidak minum alkohol dll).

Selama perawatan pasca operasi, dada kamu diberikan selang ke paru untuk dikeluarkan cairannya, setiap berdarah, aku selalu membersihkannya tanpa takut darah, dan kamu pun sudah tidak bisa berjalan sendiri, harus dengan kursi roda.

Akhirnya kita putuskan kos di belakang rumah sakit agar mempermudah akses kontrol ke dokter. Kos dengan peralatan kursi roda dan gas oksigen disediakan, setiap kali ke rumah sakit, kamu harus dengan kursi roda dan membawa kotakan yang dialiri darah dari parumu.

Dari bulan Desember 2017 sampai sehabis operasi, kamu batuk berdarah, ditambah darah yang sering keluar dari selang. Setiap harinya harus ganti perban tiga hingga empat kali. Karena aku rasa ini sudah tidak wajar lagi.

Dok: Dyah Putri

Setelah dikonsultasikan ke dokter, kamu mengalami infeksi, akhirnya dirawat kembali awal Februari 2018 selama seminggu. Dilepaslah selang itu, aku melihat kamu bahagia banget karena lepas dari selang.

Tapi setelah copot selang, kamu sering mengeluh sakit dada, sesak napas bahkan tidur pun duduk di kosan, kadang aku temani duduk, dan kamu bisa menyandar di dadaku sambil tidur. Kamu nggak bisa tidur dalam posisi punggung menekan bantal dll.

Sudah dua hingga tiga kali kita malam-malam ke IGD hanya ingin meredakan kesakitanmu dan kamu bisa pulang lagi untuk tidur di rumah. Kamu masih dengan kursi rodamu, karena setiap berjalan kaki agak jauh, kamu sesak napas.

Lalu kamu dirujuk untuk ke dokter kemoterapi, setelah pemeriksaan dokter kemo dari hasil lab, kamu belum layak untuk kemo melihat leukosit tinggi karena infeksi, akhrnya rawat inaplah lagi untuk perbaikan kondisi. Harapanmu di sini besar sembuh, sebentar lagi dikemo, karena saat operasi kemarin tidak semua bisa diangkat tumornya.

Tumor ini sangatlah ganas pertumbuhannya, yang terangkat 10x7cm, 6x3cm dan 7x7cm, yang tertinggal sekitar 12x12cm. Padahal Desember 2017 masih 15x15cm, namun setelah dirujuk kemo, kamu malah berkecimbung pada obat penahan sakit yang semakin naik dosisnya karena tidak berefek membaik sakitnya. Terutama sesak napasmu yang membuat kamu lebih sulit untuk kemoterapi.

Akhirnya dokter memutuskan untuk sinar radiasi agar mengecil tumornya. Dokter juga memasang selang di paru karena terlihat putih seluruh paru kanan, menandakan banyaknya cairan paru. Tapi ternyata ketika pasang kembali tidak keluar cairan apapun, itu menandakan putih pada rontgen adalah tumor semua, masya Allah cepat sekali.

Melihat kondisimu, yang tak kunjung reda sesaknya dan sakitnya, dokter memutuskan untuk merawatmu di HCU dan bisa dilakukan sinar radiasi segera. Kita menunggu antrean ruangan HCU penuh, sembari menunggu, lalu mengeluh sesak napas dan sakit di dada pukul 10:00. Akhirnya perawat memasangkan monitor dan suntikan obat pereda.

Aku hanya menyuruhmu, “Tidur sayang, biar nggak kerasa sakit gih buat istirahat.”

Kamu sempat menyebut lailaha illaAllah. Kamu saat sebelum tidur menanyakan, “Ayah kuat kan, Mi?”

Aku menjawab, “Iya kuat kok kuat.”

Dalam hatiku maafkan aku yang tidak pernah memberitahumu bahwa kamu stadium empat. Aku pikir dengan kamu tidak tahu, kamu akan lebih berpikir positif untuk sembuh.

Setelah satu jam kemudian (11:00 WIB), kamu bangun kaget. Aku tanya ayah kenapa, kamu hanya menggeleng dan aku suruh istighfar kamu masih bisa. Tiba-tiba kamu sesak dan dengan mata kosong nggak hiraukan ucapanku lalu tersenyum manis.

Tiba-tiba monitor bunyi, napas turun, nadi naik drastis, suster dokter semua menyiapkan ke ICU. Saat itu aku membisikimu, “Kuat ayah kuat, katanya kamu akan bertahan buat mimi.”

Lalu kondisi di alat monitor mulai stabil kembali namun kamu dalam kondisi koma. Di bawalah kamu ke ruang ICU dengan kabar oleh dokter kemungkinan terburuk. Aku hanya sendiri saat itu sambil menangis dan menunggu keluarga datang di depan ruang ICU.

Di sisi lain karena aku tidak tenang dengan keadaanmu di ICU, aku mencari dokter yang menangani kamu di lantai satu sambil menangis. Aku memohon dengan salah satu dokter, “Dok, tolonglah suami saya, saya mohon apapun dilakukan.”

Dokter it menjawab, “Maaf mbak kami sudah lakukan semua yang terbaik, kami hanya manusia, hanya doa dan mukjizat yang bisa menolong suaminya saat ini, maafkan saya ya, Mbak,” kata dokter itu sambil menangis menggenggam tanganku dan pergi.

Pukul 21:00 WIB, aku membacakan kamu Yaasiin yang terakhir, saat itu aku merasa kamu dekat banget di hati. Dalam hati aku bilang, “Ayah bangun, jangan tidur di sini terus, ingat mimi, harus kuat.” Lalu menghilang, dan aku lanjut untuk tidur.

Pukul 23:00 tiba-tiba perawat memanggil, bahwa kondisi kamu mulai menurun, terutama nadi menjadi hanya 60an. Suster sampaikan hal terburuk pada kami, kakiku lemas, menangis, terpuruk dilantai, yang lainnya mencoba menuntunmu untuk pergi tapi aku tidak, lalu mama dan nenek memanggilku, “Mungkin kamu yang dia cari, Put. Coba ikhlas,” dengan berat sungguh berat ku isikkan di telingamu, “Ayah, Mimi ikhlas kalau Ayah mau pergi. Ayah yang tenang ya disana. Nanti tunggu mimi ya. Mimi relakan ayah pergi dulu.”

Lalu aku membacakan Laailaha illaAllah sebanyak tiga kali. Perlahan nadi kamu menurun dan menurun. Aku mengecup kening kamu, “Selamat tinggal, selamat berjumpa lagi di tempat yang lebih indah.” Lalu air mata sedikit keluar dan napasmu perlahan hilang dengan lembut dan tersenyum. Nadi kamu. Dokter bilang kamu sudah tidak ada. Aku masih tidak percaya, aku pegang dadamu untuk memastikan. Barangkali dokter. “Ikhlas ya, Bu.” Lemah kaki ini berdiri, menangis tidak terbendung. Aku sendiri yang mengantar kepergianmu.

Ketika memandikan jenazahmu, semua orang berkata kamu gagah, semakin ganteng, senyum, putih, bersinar, badan tidak pucat mayat tapi kuning bersinar seperti hidup.

Aku terus memastikan dada kamu tidak bernafas. Di tengah-tengah memandikan, aku bertanya papa, “Reksa udah nggak napas kan?”

Smua orang melihatku seperti kasihan. Aku seperti tidak menerima kenyataan seperti mimpi. Aku kecup kening jenazah kamu untuk yang terakhir sebelum dikebumikan. Ketika dibawa keranda kamu, aku hanya bisa teriak menangis, “Kamu mau dibawa ke mana, Ayah?”

Udara sangat sejuk saat itu. Tapi ketika sudah dikebumikan, udara panas lagi. Semoga kamu sudah bahagia, tidak kesakitan lagi dan husnul khotimah, ya sayang. Sampai jumpa kembali di sana, sayang. Tetap menjadi bidadari surgamu ya. Aku sangat sayang kamu, Reksaa.

Selamat jalan suamiku, hatimu memang selalu tulus dengan siapa pun. Baik, jujur, memperlakukan aku selalu istimewa, ibadah tidak pernh putus dan selalu istighfar.

Allah sudah merindukanmu ternyata. Dia lebih menginginkanmu, Suamiku.

Dariku, istri yang teramat mencintaimu. Dyah Putri Utami. Caraku mencintaimu saat ini adalah doaku yang tak pernah putus untukmu. I love you. (bersamadakwah)

[http://news.moslemcommunity.net]
Banner iklan disini