Na'udzubillaah Murtad Tanpa Sadar, Kok Bisa?
Ilustrasi: Artis yang murtad
Moslemcommunity.net - Ada sebuah buku berjudul asli Al-Iman wa Nawaqidhuhu & At-Tibyan Syarhu Nawaqidhil Iman. Buku ini ditulis oleh duet Dr Safar Hawali & Syaikh Sulaiman Nashir Ulwan. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Etoz Publishing. Yang menariknya, penerbit menerjemahkan judul buku tersebut dengan atraktif sekaligus menghentak sanubari. Judul bahasa Indonesianya ialah Murtad Tanpa Sadar Kok Bisa?
Benar saudaraku. Ternyata di dalam hidup ini ada perkara-perkara yang jika dilakukan, bahkan sekedar diucapkan, dapat menjerumuskan seorang muslim ke dalam sebuah keadaan murtad tanpa sadar. Artinya, ia tidak sekedar terlibat dalam sembarang dosa. Tapi ia terlibat ke dalam urusan yang dapat menyebabkan batalnya keimanan serta keislamannya. Hal ini menjadi lebih serius jika kita kaitkan dengan kondisi zaman modern yang sangat sarat dengan fitnah (ujian) terhadap iman seorang muslim. Sehingga kita jadi teringat sebuah hadits di mana Rasulullah Muhammad صلى الله عليه و سلم bersabda:
بَادِرُوا فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan paginya menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Ahmad, No. 8493)
Sungguh penulis khawatir bahwa kondisi dunia dewasa ini persis sebagaimana Nabi صلى الله عليه و سلم gambarkan di dalam hadits di atas. Laksana malam yang gelap gulita. Fitnah (ujian) telah meliputi segenap aspek kehidupan modern. Dan derajat fitnah tersebut sedemikian rupa sehingga potensial menyebabkan seorang muslim sulit memelihara ke-istiqomahannya. Pagi masih dinilai Allah سبحانه و تعالى beriman, namun sore harinya telah menjadi kafir. Bayangkan…!
Nabi صلى الله عليه و سلم di dalam hadits di atas tidak menggambarkan kondisi gelap gulita tersebut berakibat sekedar “di waktu pagi berbuat kebaikan dan di waktu sore berbuat kejahatan”. Sebab jika demikian penggambarannya, masih lebih ringan. Sebab betapapun seseorang melakukan kejahatan, ia masih mungkin dipandang tetap memiliki iman. Sedangkan Nabi صلى الله عليه و سلم jelas-jelas menggambarkan bahwa kegelapan akibat rangkaian fitnah tersebut berakibat “seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan paginya menjadi kafir”. Wa na’udzu billahi min dzaalika…!
Mari kita lihat contohnya. Sebut saja Pembatal Keislaman nomor empat dan nomor sembilan. Pembatal Keislaman nomor empat di dalam buku MTS (Murtad Tanpa Sadar) ialah “Meyakini Bahwa Selain Petunjuk Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم Lebih Sempurna Daripada Petunjuknya”. Sedangkan Pembatal Keislaman nomor sembilan ialah “Meyakini Bahwa Manusia Boleh Keluar Dan Tidak Mengikuti Syariat Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم ”.
Sungguh, tidak sedikit muslim di era modern ini yang terjatuh kepada dua perkara di atas. Mereka masih menaruh harapan kepada petunjuk, panduan, isme, ideologi, bimbingan hidup, sistem hidup atau falsafah hidup selain yang bersumber dari Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم .
Lalu mereka memperlakukan berbagai petunjuk tersebut seolah setara bahkan lebih baik dan lebih sempurna daripada ajaran Al-Islam. Mereka meragukan Al-Islam sebagai pemersatu keanekaragaman ummat manusia lalu meyakini ada selain Al-Islam yang dapat memainkan peranan pemersatu tersebut. Seolah mereka mengabaikan kesempurnaan ajaran atau syariat Allah سبحانه و تعالى. Lalu menaruh kepercayaan akan kesempurnaan ajaran atau isme lainnya. Padahal di dalam Al-Qur’an dia membaca ayat Allah سبحانه و تعالى yang berbunyi:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5] : 3)
Salah satu faham modern yang dewasa ini secara gencar dikampanyekan oleh masyarakat Barat (baca: kaum Yahudi dan Nasrani) ialah Pluralisme. Sebagian besar penghuni planet bumi dewasa ini telah terpengaruh dan percaya kepada faham tersebut. Mereka memandangnya sebagai sebuah faham yang baik dan positif. Bahkan faham ini telah dipandang sebagai indikator kemajuan atau kemodernan seseorang atau bahkan suatu bangsa.
Memang, pada tahap awal, Pluralisme mengajarkan suatu hal yang baik yaitu keharusan setiap orang agar menghormati orang lain apapun latar belakang agama dan keyakinannya. Sampai di sini kita tidak punya masalah dengan ajaran ini. Bahkan Islam-pun menganjurkan kita untuk berlaku demikian.
Tetapi persoalannya, Pluralisme tidak menerima jika seseorang hanya sebatas memiliki sikap seperti itu. Ia menuntut setiap orang agar mengembangkan “sikap modern” sedemikian rupa sehingga tanpa ragu dan bimbang rela berkata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar.” Nah, jika seorang muslim sampai rela mengeluarkan kata-kata seperti itu, barulah ia benar-benar diakui sebagai seorang penganut Pluralisme. Barulah ia akan diberi label “muslim modern” dan “muslim moderat” oleh masyarakat dunia, khususnya masyarakat barat.
Apa masalahnya bila seorang muslim berkata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar”? Saudaraku, ungkapan seperti itu menunjukkan bahwa yang mengucapkannya tidak setuju dengan beberapa ayat di dalam Kitabullah Al-Qur’anul Karim. Padahal ketidaksetujuan seseorang akan isi Al-Qur’an menunjukkan bahwa dirinya meragukan kebenaran fihak yang telah mewahyukannya, yaitu Allah سبحانه و تعالى .
Padahal tidak ada satupun firman Allah سبحانه و تعالى yang mengandung kebatilan. Subhaanallah…! Seluruh isi Al-Qur’an sepatutunya diterima oleh setiap orang yang mengaku muslim sebagai kebenaran mutlak, karena ia merupakan Kalamullah (ucapan-ucapan Allah سبحانه و تعالى). Sehingga setiap malam saat sholat tahajjud Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم selalu membaca doa yang sebagian isinya berbunyi:
أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَقَوْلُكَ حَقٌّ
“…(Ya Allah) Engkaulah Al Haq (Yang Maha Benar), dan janji-Mu haq (benar adanya), dan perjumpaan dengan-Mu adalah benar dan firman-Mu benar…” (HR. Bukhari, No 1053)
Maka seorang muslim yang termakan oleh faham Pluralisme sehingga melontarkan kalimat-kalimat batil seperti di atas sungguh potensial terjangkiti virus MTS. Sebab ia sekurang-kurangnya telah menolak tiga ayat Al-Qur’an. Ia telah memandang dirinya lebih cerdas daripada Allah سبحانه و تعالى Yang Maha Tahu dan Maha Benar pengetahuannya. Ketiga ayat tersebut ialah:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3] : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85)
“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” (QS. Al-Hijr [15] : 2)
Bagaimana mungkin seorang muslim yang pernah membaca ketiga ayat di atas, sambil mengaku beriman akan Al-Qur’an sebagai kumpulan firman Allah سبحانه و تعالى Yang Maha Tahu dan Maha Benar pengetahuannya, lalu akan dengan ringannya tega melontarkan kata-kata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar”?
Coba perhatikan cuplikan diskusi yang sering terjadi di sekitar kita. Ada beberapa orang sedang mendiskusikan soal perselisihan antar dua kelompok berbeda agama yang terjadi di tengah masyarakat. Yang satu kelompok kaum muslimin, sedangkan yang satu lagi kelompok kaum non-muslim. Lalu masing-masing fihak mempertahankan argumennya masing-masing.
Akhirnya suasana diskusi menjadi panas dan hampir tidak terkendali. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka melontarkan sebuah upaya menenteramkan situasi dengan melontarkan kata-kata: “Sudahlah tenman-teman. Marilah kita ingat selalu bahwa kita ini kan satu bangsa. Agama boleh berbeda. Tapi kita kan tetap satu bangsa. Toh, setiap agama kan maksudnya baik. Tujuannya mulia. Dan semuanya kan menuju tujuan yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kenapa sih kita tidak bisa saling memahami dan bersikap toleran?”
Bukankah contoh kasus di atas merupakan suasana yang sangat sering kita temui di dalam kehidupan sehari-hari kita? Dan diskusi hangat dengan akhir seperti itu kian hari kian mudah kita temui belakangan ini. Kasus dan pelaku perselisihan boleh berbeda, tapi ujung akhir penyelesaiannya kurang lebih sama. Yaitu mengakui bahwa setiap agama punya maksud yang sama dan baik. Benarkah demikian?
Kalaulah semua agama punya maksud dan tujuan yang sama dan baik, lalu mengapa kita harus memilih Al-Islam? Mengapa kita tidak pilih yang lainnya saja? Bukankah Islam secara praktek lebih rumit dan menuntut pengorbanan dibandingkan yang lainnya?
Islam mewajibkan setiap muslim sholat beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى sekurangnya lima kali sehari-semalam. Islam mewajibkan setiap satu tahun sekali selama sebulan penuh muslim menahan rasa lapar, dahaga dan berhubungan suami-istri di siang hari. Mengapa tidak kita pilih agama lainnya yang lebih sederhana dan ringan? Artinya, pandangan yang mengatakan bahwa semua agama bermaksud “sama dan baik” mengingkari statement Allah سبحانه و تعالى yang berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3] : 19)
(Eramuslim)
[http://news.moslemcommunity.net]